Setelah
aku menyelesaikan Sekolah Menengah Atas atau yang lebih sering disebut SMA di
kampungku, aku memutuskan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih
tinggi di luar pulau. Namun karena keadaan ekonomi keluargaku yang berada pada
rating menengah kebawah mengharuskanku untuk mengubur harapan itu. Kecewa
memang, tapi apalah daya ketika kenyataan tidak sejalan dengan harapan. Aku
juga sempat berkeinginan untuk tidak melanjutkan pendidikan daripada harus
menetap disini. Setiap hari aku selalu mengurung diri di kamarku yang dipenuhi
dengan poster Iwan Fals. Aku kecewa, aku merenung, lalu aku menangis sampai
akhirnya aku terbangun dari semua keterpurukan yang melanda diriku. “kamu kuliah
disana atau disini nggak ada bedanya, semuanya akan sangat tergantung pada
bagaimana kamu menjalani proses perkuliahan itu dan kesadaran dirimu untuk mau
memanfaatkan semua yang ada”. Kata ayah itulah yang membuatku sadar dan
membuang keinginanku untuk tidak melanjutkan pendidikan. Kusiapkan semua
persyaratan untuk kuliah, kuatur jadwal pendaftaran, kucari kawan yang sejalan
denganku untuk sama-sama berangkat meninggalkan kampung halaman menuju kota
orang.
Setelah
kawan aku temukan, doa dari ayah dan ibu melepasku pergi berjuang melawan
kerasnya persaingan. Saat itu satu-satunya yang aku punya hanyalah harapan,
harapan itu pula yang kujadikan perisai atas hatiku yang ragu. Malam itu, dua
puluh empat jam menjelang tes sebagai syarat utama memasuki universitas X, aku
yang sementara tinggal di rumah kawanku sama sekali tidak merasakan apa-apa
disaat kebanyakan kawan-kawanku sibuk bertanya “siapkah aku menghadapi hari
esok?”. Pagi pun datang, matahari datang, dan kicauan burung-burung menjadi
musik alam yang terdengar dari balik dinding kamar mandi. Kicauan burung-burung
masih terdengar, aku dan kawanku pamit berjuang. Lokasi tes yang berbeda
mengaharuskanku dan kawanku berpisah untuk menempuh satu tujuan. Aku nggak tau
bagaimana dengan mereka, yang jelas buatku tes hari pertama berjalan biasa
saja, begitu pula hari kedua dan hari ketiga yang merupakan hari terakhir.
Hasil untuk tes akan diumumkan satu bulan kemudian terhitung mulai hari itu dan
hingga hari pengumuman tiba perasaanku tetap sama. Lalu aku pergi menuju sebuah
toko untuk membeli koran harian. Sejujurnya aku adalah remaja yang kurang
menggemari membaca, tujuan utamaku membeli koran tidak lain untuk memastikan
hasil atas perjuanganku satu bulan lalu. Dan ya, syukurku kepada Allah SWT
karena “LULUS” berarti menang. Aku kini berhak untuk mendapatkan hadiah atas
perjuanganku berupa satu kursi di Fakultas Ekonomi di sebuah Universitas X
tadi. Begitupun kawanku, Alhamdulillah…
Di kota
sana, aku lebih memilih ngekost daripada harus menetap di rumah kawanku sebab
aku hanya akan seperti benalu meskipun ia tidak bicara begitu. Beruntung kakak
perempuanku lebih dulu merantau ke kota, jadi orangtuaku meminta ia menghubungi
teman-temannya yang tinggal disana untuk mencarikan kost untukku. Tak lama
kemudian ada kabar tentang kamar kost yang kosong di sekitaran kampusku.
Keesokan harinya saat minggu masih pagi, aku dan keluargaku berangkat kesana
untuk memastikan apakah aku mau atau tidak menempatinya. Tempatnya sederhana
dengan ukuran kamar 3×4 meter dan kamar mandi diluar tak membuatku tersiksa
karena memang kehidupanku juga serba sederhana, terima saja. Setelah
barang-barang keperluanku diturunkan dari mobil sewaan, airmataku melepas
kepulangan keluargaku. Hari ini adalah hari pertamaku disini, hari ini pula
hari pertama aku jauh dari keluarga.
Hari-hari
yang kujalani terasa sepi, malam yang aku lewati lama berganti. Hatiku selalu
sedih dan ingin segera kembali ke kampung halamanku. Nggak jarang aku
menghubungi keluargaku untuk menyampaikan semua yang kurasakan tanpa mereka.
Tapi mereka tetap menguatkan aku, walaupun saat itu sama sekali tidak
berpengaruh bagiku. Di rumah, ketika suasana hatiku tak tenang, aku selalu
keluar mencari kedai kopi meskipun larut malam sekalipun. Dan disini, di kota
ini aku pun menjalankan kebiasaan itu dengan keluar mencari kedai kopi.
Pemandangan tengah malam disini sangatlah berbeda dengan di kampung halamanku.
Di kampung, menjelang tengah malam seperti ini tidak begitu ramai, tidak ada
gadis remaja yang masih lalu lalang di jalan, apalagi nongkrong di pinggir
jalan sama sekali nggak ada, semoga nggak pernah ada. Selagi bingung dengan
perbedaan yang terlihat jelas, sampailah aku di sebuah kedai kopi terdekat dari
langkahku. Aku pesan segelas kopi dan sebungkus rok*k lalu duduk bersila beralaskan
tikar yang memang sudah tergelar di atas trotoar jalan. Kopi yang kupesan
datang, rok*k pun siap dibakar. Namun hatiku belum bisa tenang, justru semakin
nggak bisa tenang ketika aku menyaksikan satu lagi perbedaan yang ada. “Ini
nggak seharusnya terjadi padamu saudaraku!”, ucapku berbisik dalam hati yang
kini semakin dipenuhi dengan tanda tanya.
Mataku
yang semula menyaksikan para muda mudi yang asyik bercanda gurau, ada juga yang
bermain gitar dan bernyanyi. Kenapa harus kualihkan pandangan ke arah seberang
jalan, aku nggak tau. Kini kopi tak lagi hangat kurasakan, rok*k tak lagi
nikmat kuhisap. Bagaimana tidak, di seberang sana aku melihat anak kecil yang
tidur di tengah teman sebayanya yang terlihat asyik bermain koin. Yang sangat
menyesakkan hatiku adalah ketika aku perhatikan seragam merah putih yang masih
ia kenakan, lengkap dengan dasi yang kurasa bertuliskan “TUT WURI HANDAYANI”.
Kuperkirakan umurnya sekitar 9–10 tahun, mungkin kelas 2 atau kelas 3 sekolah
dasar. Pemandangan ini tambah mengacaukan fikiranku yang memang lagi
berantakan. Aku ingat adikku!! Aku bayangkan adikku!! dan Aku semakin rindu
kampung halamanku!! sebab disana tak kutemui pemandangan seperti ini…
Aku
berdiri dari duduk bersilaku, lalu kubayar kopi dan rok*k yang telah kupesan
tadi. Namun aku tidak langsung beranjak pulang ke kostku, aku dengan pelan
menyeberangi jalan. Untuk mengamati lebih dekat pemandangan yang aku lihat,
juga untuk mengetahui lebih jauh siapa anak itu. Kupesan lagi segelas kopi di
kedai yang letaknya tepat di samping kumpulan bocah yang bermain koin dan
tertidur. Pesananku datang, resah hatiku belum menghilang. Kutarik nafas
panjang dari hidung, kuhembuskan kembali lewat mulut, lalu entah apa yang
membuatku berani mengucapkan kata tanya kepada ibu pemilik kedai. “Bu, siapa
anak itu?” tanyaku dengan nada sedikit kaku. “Anak-anak inikah maksudmu nak?”,
si ibu balik bertanya mencoba meyakinkan diri. “Benar Bu, anak-anak ini”,
jawabku. Lalu si ibu berkata “Mereka adalah anak-anak sekampung dengan ibu,
rata-rata mereka hidup tanpa orangtua!!”. “Maaf bu, maksud ibu orangtua mereka
telah meninggal dunia?”, tanyaku ingin lebih tau. “Tidak nak, orangtua mereka
belum meninggal. Orangtua mereka merantau ke Malaysia dan ibu mereka menikah
lagi”, jawab si ibu.
Namun tanyaku nggak berhenti sampai disini, masih merasa ingin tau mengundang banyak tanya dalam kepalaku. “Hmmm, begitu yaa bu… dan yang tidur ituu…?”, “kalau yang itu anak ibu!!”, jawabnya menyambut tanya yang belum selesai kuucapkan. Mendengar jawaban dari si ibu, aku terdiam sejenak. Kuminum kopi yang telah kupesan tadi dan bakar rok*kku. Sejujurnya masih banyak hal yang ingin aku tanyakan kepada si ibu, tetapi karena aku melihat mata si ibu berkaca-kaca sesaat setelah ia menjawab pertanyaan terakhir dariku waktu itu, kuputuskan untuk memendamnya dengan harapan bisa menanyakannya dilain kesempatan. Bersama hati yang belum tenang, fikiran yang berantakan, dan tanya yang terpendam, aku bayar kopi kepada si ibu dan melangkahkan kaki pulang.
Namun tanyaku nggak berhenti sampai disini, masih merasa ingin tau mengundang banyak tanya dalam kepalaku. “Hmmm, begitu yaa bu… dan yang tidur ituu…?”, “kalau yang itu anak ibu!!”, jawabnya menyambut tanya yang belum selesai kuucapkan. Mendengar jawaban dari si ibu, aku terdiam sejenak. Kuminum kopi yang telah kupesan tadi dan bakar rok*kku. Sejujurnya masih banyak hal yang ingin aku tanyakan kepada si ibu, tetapi karena aku melihat mata si ibu berkaca-kaca sesaat setelah ia menjawab pertanyaan terakhir dariku waktu itu, kuputuskan untuk memendamnya dengan harapan bisa menanyakannya dilain kesempatan. Bersama hati yang belum tenang, fikiran yang berantakan, dan tanya yang terpendam, aku bayar kopi kepada si ibu dan melangkahkan kaki pulang.
Beberapa
menit kemudian ketika aku sampai di kostku, gerbangnya telah tertutup rapat,
tanpa fikir panjang aku putuskan untuk masuk lompati tembok pagar yang
kebetulan tidak terlalu tinggi. Kubaringkan tubuhku pada kasur tanpa ranjang,
aku merenung kembali. “ ekejam inikah yang namanya kota?, seburuk inikah dampak
dari kenyataan yang ada?, dan lihatkah mereka dari istana sana?, lalu samakah
masa depan para bocah dengan bukti atas janji yang disampaikan oleh mereka para
petinggi negeri? ya, SAMA-SAMA NGGAK ADA!!”. Kata_kata itulah yang sempat aku
ucapkan sebelum aku benar-benar terlelap tanpa mimpi…
Sabar yaa kawan…
Lakukan apa saja selagi itu benar agar esok engkau tetap dapat makan!!
Sabar yaa kawan…
Lakukan apa saja selagi itu benar agar esok engkau tetap dapat makan!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar