Peranan Etika dalam Profesi Auditor
Audit membutuhkan pengabdian yang besar pada
masyarakat dan komitmen moral yang tinggi. Masyarakat menuntut untuk memperoleh
jasa para auditor publik dengan standar kualitas yang tinggi, dan
menuntut mereka untuk bersedia mengorbankan diri.
Itulah sebabnya profesi auditor menetapkan standar
teknis dan standar etika yang harus dijadikan panduan oleh para auditor dalam
melaksanakan audit
Standar etika diperlukan bagi profesi audit karena
auditor memiliki posisi sebagai orang kepercayaan dan menghadapi kemungkinan
benturan-benturan kepentingan.
Kode etik atau aturan etika profesi audit menyediakan
panduan bagi para auditor profesional dalam mempertahankan diri dari godaan dan
dalam mengambil keputusan-keputusan sulit. Jika auditor tunduk pada tekanan atau permintaan
tersebut, maka telah terjadi pelanggaran terhadap komitmen pada prinsip-prinsip
etika yang dianut oleh profesi.
Oleh karena itu, seorang auditor harus selalu memupuk
dan menjaga kewaspadaannya agar tidak mudah takluk pada godaan dan tekanan yang
membawanya ke dalam pelanggaran prinsip-prinsip etika secara umum dan etika
profesi. etis yang tinggi; mampu mengenali situasi-situasi yang mengandung
isu-isu etis sehingga memungkinkannya untuk mengambil keputusan atau tindakan
yang tepat.
Pentingnya Nilai-Nilai Etika dalam Auditing
Beragam masalah etis berkaitan langsung maupun tidak
langsung dengan auditing. Banyak auditor menghadapi masalah serius karena
mereka melakukan hal-hal kecil yang tak satu pun tampak mengandung kesalahan
serius, namun ternyata hanya menumpuknya hingga menjadi suatu kesalahan yang
besar dan merupakan pelanggaran serius terhadap kepercayaan yang diberikan.
Untuk itu pengetahuan akan tanda-tanda peringatan
adanya masalah etika akan memberikan peluang untuk melindungi diri sendiri, dan
pada saat yang sama, akan membangun suasana etis di lingkungan kerja.
Masalah-masalah etika yang dapat dijumpai oleh
auditoryang meliputi permintaan atau tekanan untuk:
- Melaksanakan tugas yang bukan merupakan kompetensinya
- Mengungkapkan informasi rahasia
- Mengkompromikan integritasnya dengan melakukan pemalsuan, penggelapan, penyuapan dan sebagainya.
- Mendistorsi obyektivitas dengan menerbitkan laporan-laporan yang menyesatkan
Dilema Etika
Dilema etika adalah situasi yang
dihadapi seseorang di mana keputusan mengenai perilaku yang pantas harus
dibuat.
Auditor banyak menghadapi dilema
etika dalam melaksanakan tugasnya. Bernegosiasi dengan auditan jelas merupakan
dilema etika.
Ada beberapa alternatif pemecahan
dilema etika, tetapi harus berhati-hati untuk menghindari cara yang merupakan
rasionalisasi perilaku tidak beretika.
Berikut ini adalah metode rasionalisasi yang biasanya
digunakan bagi perilaku tidak beretika:
1. Semua orang
melakukannya. Argumentasi yang mendukung penyalahgunaan pelaporan pajak,
pelaporan pengadaan barang/jasa biasanya didasarkan pada rasionalisasi bahwa
semua orang melakukan hal yang sama, oleh karena itu dapat diterima.
2. Jika itu
legal, maka itu beretika. Menggunakan argumentasi bahwa semua perilaku legal
adalah beretika sangat berhubungan dengan ketepatan hukum. Dengan pemikiran
ini, tidak ada kewajiban menuntut kerugian yang telah dilakukan seseorang.
3. Kemungkinan ketahuan dan konsekuensinya. Pemikiran ini bergantung pada
evaluasi hasil temuan seseorang. Umumnya, seseorang akan memberikan hukuman (konsekuensi) pada temuan tersebut.
Pemecahan Dilema Etika
•
Pendekatan
enam langkah berikut ini merupakan pendekatan sederhana untuk memecahkan dilema
etika:
1. Dapatkan fakta-fakta yang relevan
2. Identifikasi
isu-isu etika dari fakta-fakta yang ada
3. Tentukan
siapa dan bagaimana orang atau kelompok yang dipengaruhi oleh dilema etika
4. Identifikasi
alternatif-alternatif yang tersedia bagi orang yang memecahkan dilema etika
5. Identifikasi
konsekuensi yang mungkin timbul dari setiap alternatif
6. Tetapkan
tindakan yang tepat.
Kode Etik Akuntan Indonesia
Etika profesional bagi praktik
akuntan di Indonesia ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan disebut
dengan Kode Etik Akuntan Indonesia.
Dalam hubungan ini perlu diingat
bahwa IAI adalah satu-atunya organisasi profesi akuntan
di Indonesia. Anggota IAI meliputi auditor dalam berbagai jenisnya
(auditor independen/publik, auditor intern dan auditor pemerintah), akuntan
manajemen, dan akuntan pendidik. Oleh sebab itu, kode etik IAI berlaku bagi
semua anggota IAI, tidak terbatas pada akuntan anggota IAI yang berpraktik
sebagai akuntan publik.
Kode Etik Akuntan Indonesia
mempunyai struktur seperti kode etik AICPA yang meliputi prinsip etika, aturan
etika dan interpretasi aturan etika yang diikuti dengan tanya jawab dalam
kaitannya dengan interpretasi aturan etika.
Prinsip-prinsip etika dalam Kode Etik IAI ada 8
(delapan), yaitu:
1. Tanggung
Jawab
2. Kepentingan
Umum (Publik)
3. Integritas
4. Obyektivitas
5. Kompetensi
dan Kehati-hatian Profesional
6. Kerahasiaan
7. Perilaku
Profesional
8. Standar
Teknis
Kode Etik INTOSAI
•
Kode etik
INTOSAI terdiri dari:
(1) integritas,
(2) independen, obyektif dan tidak memihak,
(3) kerahasiaan dan
(4) kompetensi.
•
Dalam paragaraf 15 dan 18, INTOSAI menyatakan bahwa auditor tidak hanya
bersifat independen terhadap auditan dan pihak lainnya, tetapi juga harus
obyektif dalam menghadapi berbagai masalah yang direviu.
Government Accounting Standards dari US GAO
•
Dalam paragraf 1.19, dinyatakan bahwa dalam melaksanakan tanggung jawab
profesionalnya, auditor harus menjaga :
1. integritas,
2. obyektifitas
dan
3. independensi.
•
Organisasi pemeriksa juga memiliki tanggung jawab dalam memberikan
keyakinan yang memadai bahwa
independensi dan obyektifitas dilaksanakan
dalam semua tahap penugasan.
Standar Pemeriksaan Keuangan Negara (SPKN) BPK
Berkaitan dengan independensi, SPKN
menyatakannya dalam standar umum kedua, yang berbunyi “Dalam semua hal yang
berkaitan dengan pekerjaan pemeriksaan, organisasi
pemeriksa dan pemeriksa baik pemerintahan
maupun akuntan publik, harus bebas baik dalam sikap mental maupun penampilan dari gangguan pribadi, ekstern dan organisasi yang dapat mempengaruhi
independensinya.”
Hal yang berkaitan dengan obyektif dinyatakan dalam
paragraph 2.15, yaitu
–
“pemeriksa
harus obyektif dan bebas dari benturan kepentingan (conflict of interest)
dalam menjalankan tanggung jawab profesionalnya.
Aturan Etika Kompartemen Akuntan
Sektor Publik
Aturan etika merupakan penjabaran
lebih lanjut dari prinsip-prinsip etika dan ditetapkan untuk masing-masing
kompartemen.
Untuk akuntan sektor publik, aturan
etika ditetapkan oleh IAI Kompartemen Akuntan Sektor Publik (IAI-KASP).
Sampai saat ini, aturan etika ini
masih dalam bentuk exposure draft, yang penyusunannya mengacu pada Standard
of Professional Practice on Ethics yang diterbitkan oleh the International
Federation of Accountants (IFAC).
Berdasarkan aturan etika ini,
seorang profesional akuntan sektor publik harus memiliki karakteristik yang
mencakup:
1. Penguasaan keahlian intelektual yang diperoleh melalui pendidikan dan
pelatihan.
2. Kesediaan
melakukan tugas untuk masyarakat secara luas di tempat instansi kerja maupun untuk auditan.
3. Berpandangan
obyektif.
4. Penyediaan layanan dengan standar pelaksanaan tugas dan kinerja yang tinggi.
Penerapan aturan etika ini dilakukan untuk
mendukung tercapainya tujuan profesi
akuntan yaitu:
–
bekerja
dengan standar profesi yang tinggi,
–
mencapai
tingkat kinerja yang diharapkan dan
–
mencapai
tingkat kinerja yang memenuhi persyaratan kepentingan masyarakat.
Oleh karena itu, menurut aturan
etika IAI-KASP, ada tiga kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Kredibilitas
akan informasi dan sistem informasi.
2. Kualitas
layanan yang didasarkan pada standar kinerja yang tinggi.
3. Keyakinan pengguna
layanan bahwa adanya kerangka etika profesional dan standar teknis yang
mengatur persyaratan-persyaratan layanan yang tidak dapat dikompromikan.
Aturan etika
IAI-KASP memuat tujuh prinsip-prinsip dasar perilaku etis auditor
dan empat panduan umum lainnya berkenaan dengan perilaku etis tersebut.
Ketujuh prinsip dasar tersebut
adalah: integritas, obyektivitas, kompetensi dan kehati-hatian, kerahasiaan,
ketepatan bertindak, dan standar teknis dan profesional.
Empat panduan umum mengatur hal-hal
yang terkait dengan good governance, pertentangan kepentingan, fasilitas dan
hadiah, serta penerapan aturan etika
bagi anggota profesi yang bekerja di luar negeri.
Integritas
Integritas berkaitan dengan profesi
auditor yang dapat dipercaya karena menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran.
Integritas tidak hanya berupa kejujuran tetapi juga sifat dapat dipercaya,
bertindak adil dan berdasarkan keadaan yang
sebenarnya.
Hal ini
ditunjukkan oleh auditor ketika memunculkan keunggulan personal
ketika memberikan layanan profesional kepada instansi tempat auditor bekerja
dan kepada auditannya. Misalnya, auditor seringkali menghadapi situasi di mana terdapat berbagai alternatif penyajian
informasi yang dapat menciptakan gambaran keuangan atau kinerja yang berbeda-beda. Dengan berbagai tekanan yang ada untuk
memanipulasi fakta-fakta, auditor yang berintegritas mampu bertahan dari
berbagai tekanan tersebut sehingga fakta-fakta tersaji seobyektif mungkin.
Auditor perlu mendokumentasikan
setiap pertimbangan-pertimbangan yang diambil dalam situasi penuh tekanan
tersebut.
Obyektivitas
Auditor yang obyektif adalah auditor
yang tidak memihak sehingga independensi profesinya dapat dipertahankan. Dalam
mengambil keputusan atau tindakan, ia tidak boleh bertindak atas dasar
prasangka atau bias, pertentangan kepentingan, atau pengaruh dari pihak lain.
Obyektivitas dipraktikkan ketika
auditor mengambil keputusan2 dalam kegiatan auditnya. Auditor yang obyektif adalah auditor yang
mengambil keputusan berdasarkan seluruh bukti yang tersedia, dan bukannya
karena pengaruh atau berdasarkan pendapat atau
prasangka pribadi maupun tekanan dan pengaruh orang lain.
Obyektivitas auditor dapat terancam
karena berbagai hal. Situasisituasi tertentu dapat menghadapkan auditor pada
tekanan yang mengancam obyektivitasnya, seperti hubungan kekerabatan antara
auditor dengan pejabat yang diaudit. Obyektivitas auditor juga dapat terancam
karena tekanantekanan pihak-pihak tertentu, seperti ancaman secara fisik. Untuk
itu, auditor harus tetap menunjukkan sikap rasional dalam mengidentifikasi
situasi-situasi atau tekanan-tekanan yang dapat mengganggu obyektivitasnya.
Ketidakmampuan auditor dalam
menegakkan satu atau lebih prinsip-prinsip dasar dalam aturan etika karena
keadaan atau hubungan dengan pihak-pihak tertentu
menunjukkan indikasi adanya kekurangan obyektivitas.
Hubungan finansial dan non-finansial
dapat mengganggu kemampuan auditor dalam menjalankan prinsip obyektivitas.
Misalnya, auditor memegang jabatan
komisaris bersama-sama dengan auditan pada suatu perusahaan sedikit banyak akan
mempengaruhi obyektivitas auditor tersebut ketika mengaudit auditan.
Transaksi peminjaman dari auditan
atau investasi pada auditan dapat mendorong auditor menyajikan temuan audit
yang berbeda dengan keadaan sebenarnya, terutama bila temuan tersebut
berpengaruh terhadap keuangannya.
Kompetensi dan Kehati-hatian
Agar dapat memberikan layanan audit
yang berkualitas, auditor harus memiliki dan mempertahankan kompetensi dan
ketekunan. Untuk itu auditor harus selalu meningkatkan pengetahuan dan keahlian
profesinya pada tingkat yang diperlukan
untuk memastikan bahwa instansi tempat ia bekerja atau auditan
dapat menerima manfaat dari layanan profesinya berdasarkan pengembangan
praktik, ketentuan, dan teknik-teknik yang terbaru.
Berdasarkan prinsip dasar ini,
auditor hanya dapat melakukan suatu audit apabila ia memiliki kompetensi yang
diperlukan atau menggunakan bantuan tenaga ahli
yang kompeten untuk melaksanakan tugas-tugasnya secara memuaskan.
Berkenaan
dengan kompetensi, untuk dapat melakukan suatu penugasan audit, auditor harus dapat
memperoleh kompetensi melalui pendidikan dan pelatihan yang relevan. Pendidikan
dan pelatihan ini dapat bersifat umum dengan standar tinggi yang diikuti dengan
pendidikan khusus, sertifikasi, serta pengalaman kerja. Kompetensi yang
diperoleh ini harus selalu dipertahankan
dan dikembangkan dengan terus-menerus mengikuti perkembangan dalam profesi
akuntansi, termasuk melalui penerbitan penerbitan nasional dan internasional
yang relevan dengan akuntansi, auditing, dan keterampilan-keterampilan teknis
lainnya.
Kerahasiaan
Auditor harus
mampu menjaga kerahasiaan atas informasi yang diperolehnya dalam melakukan audit,
walaupun keseluruhan proses audit mungkin harus dilakukan secara terbuka dan
transparan
Dalam prinsip kerahasiaan ini juga,
auditor dilarang untuk menggunakan informasi yang
dimilikinya untuk kepentingan pribadinya, misalnya untuk memperoleh keuntungan
finansial.
Prinsip kerahasiaan tidak berlaku dalam
situasi-situasi berikut:
–
Pengungkapan
yang diijinkan oleh pihak yang berwenang, seperti auditan dan instansi tempat
ia bekerja. Dalam melakukan pengungkapan ini, auditor harus mempertimbangkan
kepentingan seluruh pihak, tidak hanya dirinya, auditan, instansinya saja,
tetapi juga termasuk pihak-pihak lain yang mungkin terkena dampak dari
pengungkapan informasi ini.
–
Pengungkapan
yang diwajibkan berdasarkan peraturan perundangundangan, seperti tindak pidana
pencucian uang, tindakan KKN, dan tindakan melanggar hukum lainnya.
–
Pengungkapan
untuk kepentingan masyarakat yang dilindungi dengan undang-undang.
Bila auditor memutuskan untuk
mengungkapkan informasi karena situasisituasi
di atas, ada tiga hal yang harus dipertimbangkan, yaitu:
–
Fakta-fakta
yang diungkapkan telah mendapat dukungan bukti yang kuat atau adanya
pertimbangan profesional penentuan jenis pengungkapan ketika fakta-fakta
tersebut tidak didukung dengan bukti yang kuat.
–
Pihak-pihak yang menerima informasi adalah pihak yang tepat dan memiliki
tanggung jawab untuk bertindak atas dasar informasi tersebut.
–
Perlunya
nasihat hukum yang profesional atau konsultasi dengan organisasi yang tepat
sebelum melakukan pengungkapan informasi.
Ketepatan Bertindak
Auditor harus dapat bertindak
konsisten dalam mempertahankan reputasi profesi serta lembaga profesi akuntan
sektor publik dan menahan diri dari setiap tindakan yang dapat mendiskreditkan
lembaga profesi atau dirinya sebagai auditor profesional.
Tindakan-tindakan yang tepat ini
perlu dipromosikan melalui kepemimpinan dan keteladanan. Apabila auditor
mengetahui ada auditor lain melakukan tindakan yang tidak benar, maka auditor
tersebut harus mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk melindungi
masyarakat, profesi, lembaga profesi, instansi tempat ia bekerja dan anggota profesi lainnya dari tindakan-tindakan
auditor lain yang
tidak benar tersebut.
Untuk itu, ia harus mengumpulkan
bukti-bukti dari tindakan yang tidak benar tersebut dan menuangkannya dalam
suatu laporan yang dibuat secara jujur dan dapat dipertahankan kebenarannya.
Auditor kemudian melaporkan kepada pihak yang berwenang atas tindakan yang
tidak benar ini, misalnya kepada atasan dari auditor yang melakukan tindakan
yang tidak benar tersebut atau kepada pihak yang berwajib apabila
pelanggarannya menyangkut tindak pidana.
Standar teknis dan professional
Auditor harus melakukan audit sesuai
dengan standar audit yang berlaku, yang meliputi standar teknis dan profesional
yang relevan. Standar ini ditetapkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia dan
Pemerintah Republik Indonesia.
Pada instansi-instansi audit publik,
terdapat juga standar audit yang mereka tetapkan dan berlaku bagi para
auditornya, termasuk aturan perilaku yang ditetapkan oleh instansi tempat ia
bekerja.
Dalam hal terdapat perbedaan
dan/atau pertentangan antara standar audit dan aturan profesi dengan standar audit dan aturan instansi, maka permasalahannya dikembalikan kepada masing-masing
lembaga penyusun standar dan aturan tersebut.
Panduan Umum Lainnya pada Aturan Etika IAI-KASP
Seperti telah dikemukakan
sebelumnya, panduan umum lainnya yang tercantum dalam aturan etika IAI-KASP
terdiri dari empat hal yaitu :
–
panduan good
governance dari organisasi/instansi tempat auditor bekerja,
–
panduan
identifikasi pertentangan kepentingan,
–
panduan atas
pemberian fasilitas dan hadiah, dan
–
panduan
penerapan aturan etika bagi auditor yang bekerja di luar wilayah hukum aturan
etika.
Good Governance
Auditor diharapkan mendukung
penerapan good governance pada organisasi atau instansi tempat ia bekerja, yang
meliputi prinsip-prinsip berikut:
–
Tidak mementingkan diri sendiri
–
Integritas
–
Obyektivitas
–
Akuntabilitas
–
Keterbukaan
–
Kejujuran
–
Kepemimpinan
Struktur dan proses organisasi atau
instansi tempat ia bekerja harus memiliki hal-hal berikut yaitu: akuntabilitas
keberadaan organisasi, akuntabilitas penggunaan dana publik, komunikasi dengan
stakeholders, dan peran dan tanggung jawab dan keseimbangan kekuasaan antara
stakeholders dan pengelola.
Instansinya juga harus memiliki
mekanisme pelaporan keuangan dan pengendalian intern yang mencakup: pelaporan
tahunan, manajemen risiko dan audit internal, komite audit, komite penelaah
kinerja, dan audit eksternal. Instansinya juga harus memiliki standar perilaku
yang mencakup kepemimpinan dan aturan perilaku.
Pertentangan Kepentingan
Beberapa hal yang tercantum dalam aturan etika yang
dapat mengindikasikan adanya pertentangan kepentingan yang dihadapi oleh
auditor sektor publik adalah:
1. Adanya tekanan dari atasan, rekan kerja, maupun auditan di tempat kerja
(instansinya).
2. Adanya
tekanan dari pihak luar seperti keluarga atau relasi.
3. Adanya
tuntutan untuk bertindak yang tidak sesuai dengan standar atau aturan.
4. Adanya
tuntutan loyalitas kepada organisasi atau atasan yang bertentangan dengan kepatuhan atas standar profesi.
5. Adanya
publikasi informasi yang bias sehingga menguntungkan instansinya.
6. Adanya
peluang untuk memperoleh keuntungan pribadi atas beban instansi tempat ia bekerja atau auditan.
Fasilitas dan Hadiah
Auditor dapat menerima fasilitas atau hadiah dari
pihak-pihak yang memiliki atau akan memiliki hubungan kontraktual dengannya
dengan mengacu dan memperhatikan seluruh peraturan perundang-undangan mengenai
tindak pidana korupsi, dengan melakukan tindakan-tindakan berikut:
1.
Melakukan
pertimbangan atau penerimaan fasilitas atau hadiah yang normal dan masuk akal,
artinya auditor juga akan menerima hal yang sama pada instansi tempat ia
bekerja apabila ia melakukan hal yang sama.
2.
Meyakinkan
diri bahwa besarnya pemberian tidak menimbulkan persepsi masyarakat bahwa
auditor akan terpengaruh oleh pemberian tersebut.
3.
Mencatat
semua tawaran pemberian fasilitas atau hadiah, baik yang diterima maupun yang
ditolak, dan melaporkan catatan tersebut.
4.
Menolak
tawaran-tawaran fasilitas atau hadiah yang meragukan
Pemberlakuan Aturan Etika bagi Auditor yang Bekerja di
Luar Negeri
Pada dasarnya auditor harus
menerapkan aturan yang paling keras apabila auditor dihadapkan pada dua aturan
berbeda yang berlaku ketika ia bekerja di luar negeri, yaitu aturan etika profesinya
di Indonesia dan aturan etika yang berlaku di luar negeri.
.
Independensi Auditor
Sesuai dengan etika profesi, akuntan
yang berpraktik sebagai auditor dipersyaratkan memiliki sikap independensi
dalam setiap pelaksanaan audit.
Dalam kaitannya dengan auditor,
independensi umumnya didefinisikan dengan mengacu kepada kebebasan dari hubungan (freedom from relationship) yang merusak atau
tampaknya merusak kemampuan akuntan untuk menerapkan obyektivitas. Jadi,
independensi diartikan sebagai kondisi agar obyektivitas dapat diterapkan.
Selain itu, terdapat pengertian lain
tentang independensi yang berarti cara
pandang yang tidak memihak di dalam pelaksanaan pengujian, evaluasi hasil pemeriksaan, dan penyusunan laporan audit. Independensi harus dipandang
sebagai salah satu ciri auditor yang paling penting.
Alasannya adalah begitu banyak pihak
yang menggantungkan kepercayaannya kepada kelayakan laporan keuangan
berdasarkan laporan auditor yang tidak memihak.
Independensi dan Profesionalisme
Seorang akuntan yang profesional seharusnya tidak menggunakan pertimbangannya
hanya untuk kepuasan auditan. Dalam realitas auditor, setiap pertimbangan
mengenai kepentingan auditan harus disubordinasikan kepada kewajiban atau
tanggung jawab yang lebih besar yaitu kewajiban terhadap pihak-pihak ketiga dan
kepada publik. Prinsip kunci dari seluruh gagasan profesionalisme adalah bahwa
seorang profesional memiliki pengalaman dan kemampuan mengenali/memahami bidang
tertentu yang lebih tinggi dari auditan. Oleh karena itu, profesional tersebut
seharusnya tidak mensubordinasikan pertimbangannya kepada keinginan auditan.
Sikap mental independen harus
meliputi independen dalam fakta (in fact) maupun dalam penampilan (in
appearance).
Independensi dalam kenyataan akan
ada apabila pada kenyataannya auditor mampu mempertahankan sikap yang tidak
memihak sepanjang pelaksanaan audit.
Independen dalam penampilan berarti
hasil interpretasi pihak lain mengenai independensi. Apabila auditor memiliki
sikap independen dalam kenyataan tetapi pihak lain yang berkepentingan yakin
bahwa auditor tersebut adalah penasihat auditan maka sebagian besar nilai
fungsi auditnya akan sia-sia.
Independensi dalam Kenyataan
Independensi dalam kenyataan
merupakan salah satu aspek paling sulit dari etika dalam profesi akuntansi.
Kebanyakan auditor siap untuk menegaskan bahwa untuk sebagian besar
independensi dalam kenyataan merupakan norma dalam kehidupan sehari-hari
seorang profesional. Namun mereka gagal
untuk memberikan bukti penegasan ini atau bahkan untuk menjelaskan
mengapa mereka percaya bahwa hal itu benar demikian Adalah hal yang sulit untuk
membedakan sifat-sifat utama yang diperlukan untuk independensi dalam
kenyataan. Audit dikatakan gagal jika seorang auditor memberikan pendapat kepada
pihak ketiga bahwa laporan keuangan disajikan secara wajar sesuai dengan
standar akuntansi yang berlaku umum padahal dalam kenyataannya tidak demikian.
Seringkali kegagalan audit disebabkan oleh tidak adanya independensi.
Contoh tidak adanya independensi
dalam kenyataan adalah tidak adanya obyektivitas dan skeptisisme, menyetujui
pembatasan penting yang diajukan auditan atas ruang lingkup audit atau dengan
tidak melakukan evaluasi kritis terhadap transaksi auditan. Beberapa pihak juga
percaya bahwa ketidakkompetenan merupakan perwujudan dari tiadanya independensi
dalam kenyataan.
Independensi dalam
Penampilan
Independensi dalam penampilan
mengacu kepada interpretasi atau persepsi orang mengenai independensi auditor.
Sebagian besar nilai laporan audit berasal dari status independensi dari
auditor. Oleh karena itu, jika auditor adalah independen dalam kenyataan,
tetapi masyarakat umum percaya bahwa auditor
berpihak kepada auditan, maka sebagian nilai fungsi audit akan hilang.
Adanya persepsi mengenai tidak
adanya independensi dalam kenyataan tidak hanya menurunkan nilai laporan audit
tetapi dapat juga memiliki pengaruh buruk terhadap profesi. Auditor berperan
untuk memberikan suatu pendapat yang tidak bias pada informasi keuangan yang
dilaporkan berdasarkan pertimbangan profesional. Jika auditor secara
keseluruhan tidak dianggap independen, maka validitas peran auditor di dalam
masyarakat akan terancam. Kredibilitas profesi pada akhirnya bergantung kepada
persepsi masyarakat mengenai independensi (independensi dalam penampilan),
bukan independensi dalam kenyataan.
KKN dan Tindakan Melanggar Hukum Lainnya
Korupsi, yang di era reformasi ini disandingkan dengan dua jenis tindakan
lainnya yaitu kolusi dan nepotisme, merupakan isu etika yang sangat menonjol
dan mendapatkan banyak perhatian. Secara ekonomi dan politik, korupsi dinilai
memiliki dampak yang luar biasa karena menghambat pertumbuhan ekonomi dan
demokrasi.
Oleh sebab itu, Indonesia telah membentuk kerangka dan kelembagaan untuk memberantas korupsi. Terakhir, pemerintah
telah membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebuah lembaga independen
anti-korupsi.
Dari sudut pandang etika, korupsi
dalam konteks administrasi publik didefinisikan sebagai penggunaan jabatan,
posisi, fasilitas atau sumber daya publik untuk kepentingan atau keuntungan
pribadi. Dengan demikian, korupsi pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap
kepercayaan publik yang diberikan kepada pegawai atau pejabat publik.
Kepentingan atau keuntungan pribadi dalam definisi tersebut tidak terbatas pada keuntungan keuangan,
tetapi meliputi
juga semua jenis manfaat sekali pun tidak secara langsung berkaitan dengan diri
pegawai atau pejabat publik yang bersangkutan.
Dari definisi tersebut, maka
sebenarnya banyak sekali tindakan pegawai atau pejabat publik yang dapat
dikategorikan korupsi.
Contohnya adalah pembelian atau
pembayaran fiktif, mark up harga pembelian, penerimaan suap, mangkir
kerja dan penerimaan hadiah, parcel atau sumbangan. Perbuatan-perbuatan
tersebut melanggar sumpah dan janji pegawai negeri dan sekaligus melanggar
prinsip-prinsip etika seperti kejujuran, keadilan, obyektivitas dan legalitas.
Dari sudut pandang hukum,
sebagaimana dinyatakan dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang No. 31 tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi,
korupsi merupakan tindak pidana yang diartikan sebagai perbuatan melawan hukum,
memperkaya diri sendiri, orang lain atau
korporasi, yang dapat merugikan negara atau perekonomian negara.
Dengan demikian, secara hukum suatu
tindakan dapat dikategorikan sebagai korupsi jika memenuhi tiga kondisi, yaitu:
1. melawan
hukum,
2. menguntungkan
diri sendiri,
3. merugikan
negara.
Selain itu, termasuk pula korupsi
adalah penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana yang ada karena jabatan
atau kedudukan untuk menguntungkan diri sendiri, orang lain atau korporasi, dan
perbuatan tersebut merugikan negara
Dalam era reformasi sekarang ini,
penggunaan istilah korupsi selalu disandingkan dengan kata kolusi dan
nepotisme. Kolusi, seperti halnya definisi yang digunakan dalam Undang-Undang
No. 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, mengacu kepada permufakatan atau kerja sama
(secara melawan hukum) dengan sesama pegawai atau pejabat publik atau dengan
pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara.
Sementara itu, nepotisme diartikan
sebagai perbuatan oleh pegawai/pejabat publik (secara melawan hukum) yang
menguntungkan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat,
bangsa, dan negara.
Dalam konteks administrasi publik, kolusi dan nepotisme merupakan bentuk pelanggaran etika pelayanan publik, dan
sebenarnya keduanya dapat dipandang sebagai bentuk-bentuk dari tindakan
korupsi, atau sebagai bagian dari tindak korupsi.
Pengendalian Mutu Audit
Hasil audit diperlukan oleh berbagai
pihak sebagai pertimbangan dalam membuat keputusan. Opini auditor yang tidak
akurat akan memberikan dampak yang buruk. Karenanya, timbul suatu kebutuhan
untuk menjaga kualitas laporan audit sehingga mencegah pengambilan keputusan
yang kurang tepat.
Dalam penugasan audit, auditor harus
mematuhi standar audit. Oleh karena itu, organisasi pemeriksa harus membuat
kebijakan dan prosedur pengendalian mutu untuk memberikan keyakinan memadai
tentang kesesuaian penugasan audit dengan standar audit.
Pengendalian mutu terdiri metode
yang digunakan untuk meyakinkan bahwa organisasi pemeriksa telah menerapkan dan
mematuhi kemahiran profesionalnya, termasuk standar, kebijakan dan prosedur
pemeriksaan secara memadai.
Pengendalian mutu berhubungan erat,
tetapi tidak sama dengan standar audit. Pengendalian mutu adalah prosedur yang
digunakan organisasi pemeriksa di setiap penugasan audit untuk membantu mereka
memenuhi standar audit secara konsisten.
Oleh karena itu, pengendalian mutu ditujukan untuk organisasi pemeriksa secara
keseluruhan, sedangkan audit standar berlaku untuk setiap penugasan audit.
Sifat dan lingkup sistem
pengendalian mutu organisasi pemeriksa sangat tergantung pada beberapa faktor,
seperti ukuran dan tingkat otonomi kegiatan yang diberikan kepada staf dan
organisasi pemeriksa, sifat pekerjaan, struktur organisasi, pertimbangan mengenai
biaya dan manfaatnya.
Peer Review
Menurut Internal Quality Review,
istilah peer review memiliki arti eksternal reviu
dan evaluasi kualitas dan efektivitas program akademis, staffing,
dan struktur, yang dilaksanakan oleh pihak eksternal yang memiliki keahlian di bidang yang direviu.
Dalam konteks audit sektor publik, peer review
memiliki arti penilaian apakah organisasi pemeriksa telah memenuhi standar
pemeriksaan. Beberapa reviu biasanya melibatkan auditor yang berpengalaman dari organisasi pemeriksaan lainnya.
Pelaksanaan peer
review memiliki tujuan untuk menentukan dan melaporkan apakah organisasi pemriksa
telah melaksanakan kebijakan dan prosedur untuk kelima elemen pengendalian mutu
dan menerapkannya dalam praktek audit.
Peer review sendiri bukan
untuk mengkritik proses audit tertentu, tetapi untuk menentukan pengendalian
audit yang tepat , bagaimana pengendalian ini diterapkan, gap pengendalian
dan cara untuk meningkatkan sistem kualitas audit.
SUMBER :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar